Ketika Corona Memberi Angin Segar

Ketika Corona Memberi Angin Segar

Bosan karena harus berdiam diri di rumah saja?

Kewalahan dengan sistem Work From Home atau School From Home?

Jujur, saya tidak pernah merasa seperti itu.

Senang? Tidak juga. Karena, merasa senang bakalan di-bully habis-habisan, dituduh tidak memiliki empati. Padahal, tak ada yang tahu apa yang sedang dijalani orang lain, kan?

Pandemi menyelamatkan saya dari tekanan pekerjaan. Karena itu, saya lega ketika tempat saya kerja menerapkan sistem Work From Home (WFH) selama pandemi. Saya juga tak masalah harus berdiam diri di rumah saja.

Pekerjaan saya menuntut untuk melakukan segala-galanya dengan cepat. Maklum, masyarakat zaman sekarang identik dengan fast-paced life. Satu pekerjaan belum selesai, sudah datang pekerjaan lain yang sama-sama menuntut untuk diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini membuat saya mau tak mau harus multitasking. Awalnya, saya menjalani hal ini. Tapi, semakin sering saya melakukan multitasking, semakin saya sadar bahwa saya tidak bisa multitasking. Pasti ada kesalahan kecil yang saya buat jika melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Akhirnya, saya sering mengalami burnout.

Pernah saya baca suatu artikel yang menjelaskan penelitian bahwa multitasking bisa merusak otak dan karier. Saya tidak mengada-ngada. Tapi, saya merasakan otak saya mulai kewalahan, seperti sering lupa, kurang fokus, cemas, melakukan sesuatu dengan mode otomatis. Bahkan parahnya, saya tidak lagi menikmati momen saat bersama pasangan, keluarga, dan teman saya. 

Mungkin, banyak dari kalian yang berpendapat, "Kalau sudah jenuh dengan pekerjaan, coba deh cuti!" Iya, mengambil cuti bisa jadi pilihan tepat. Tapi, tidak semudah itu. Kalau saya cuti, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan saya yang setiap harinya selalu ada pekerjaan baru yang menuntut untuk dikerjakan? Saya selalu khawatir jadi merepotkan orang lain kalau saya mengambil cuti. Maka, saya tidak tega ambil cuti. Kerja, kerja, kerja! Tidak kerja, tidak makan! Hehe...

Lalu, datanglah Corona. Saya mendapatkan angin segar yang membuatku bisa bernapas sejenak. Bukan berhenti sepenuhnya. Saya tetap bekerja. Tapi, bekerja di rumah membuat saya justru lebih fokus. Pekerjaan saya bisa selesai lebih cepat tanpa ada interupsi sana-sini.Waktu yang biasanya digunakan untuk perjalanan dan bersiap-siap pergi bekerja dimanfaatkan untuk membenahi mental dan jiwa saya. Dengan cara apa? Tentu saja dengan buku!

Masa adaptasi berarti diri kita harus beradaptasi dengan keadaan, secara mental maupun fisik. Tentu saja saya membutuhkan bantuan dari orang lain untuk bisa menata hidup saya. Ya, dengan bantuan para penulis hebat. Ini dia beberapa penulis yang karyanya membuat saya tetap waras.


Bersama Beradaptasi ala Tsuneko Nakamura

2020 adalah tahun dimana saya mengenal filsafat Stoa. Lewat bukunya yang berjudul Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, Tsuneko Nakamura berbagi pengalamannya selama berkarier sebagai psikiater lebih dari 70 tahun. 

Sebetulnya, tidak ada menyebut-nyebut filsafat Stoa. Tapi, pemikiran dokter Tsuneko benar-benar stoikisme sekali. Tak heran, dokter Tsuneko dikenal sebagai pribadi yang tenang. 

Salah satu pemikiran dokter Tsuneko yang bersinggungan dengan filsafat Yunani-Romawi Kuno adalah tentang prinsip dikotomi kendali, yaitu ada hal yang bisa kita ubah dan hal yang tidak bisa kita ubah. Membaca buku ini membuat saya mulai memilah keduanya. Saya mulai sadar bahwa memaksakan kehendak atas sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan justru akan membuat kita merasa sakit. Saya jadi teringat sebuah analogi yang dijelaskan dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring berikut ini:


Bayangkan seekor anjing yang terikat lehernya ke sebuah gerobak. Saat gerobak bergerak, anjing ini punya pilihan. Pertama, dia bisa ngotot pergi berlawanan arah dengan si gerobak, yang hasilnya adalah lelah, karena dia tidak mungkin bisa menang melawan gerobak itu, dan lehernya akan tercekik sampai tersengal-sengal. Pilihan kedua, dia bisa memilih untuk berjalan mengikuti arah dan kecepatan si gerobak tanpa harus tercekik. Bahkan, dia masih bisa menikmati pemandangan--dan bergenit ria dengan anjing lain di jalan. Ketika anjing ini melawan hal-hal di luar kendalinya, dalam hal ini gerobak yang berjalan, dia hanya menemui penderitaan. Namun, ketika dia memfokuskan pada hal yang bisa dikendalikan, yaitu mengikuti gerobak, menikmati pemandangan, sambil mengedipkan mata pada anjing-anjing lain, maka dia tetap bisa merasa bahagia." (Filosofi Teras, halaman 50)

Analogi tersebut ada benarnya. Memang, rasanya tak ada hal baik dari pandemi ini. Tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat... Semuanya terkena dampak pandemi yang kebanyakan negatif. Ini memang menyesakkan seperti coronavirus yang membuat sesak. Tapi, apa yang bisa kita perbuat? Kita tidak bisa mengendalikan penyebaran virus Corona yang begitu massive. Yang bisa kita kendalikan adalah menjaga diri dengan menerapkan protokol kesehatan dan minum vitamin. Daripada waktu habis untuk mengkhawatirkan hal yang tidak bisa kita kendalikan, lebih baik membaca buku supaya tetap waras, kan?

Buku yang ditulis oleh Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda ini ternyata berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya, tujuan bekerja untuk apa, menghadapi orang lain di tempat kerja seperti apa, dsb. Saya seperti mendapat nasihat dari dokter Tsuneko tentang kegalauan saya dengan pekerjaan saya.


Pada akhirnya, ke mana pun kita pergi akan sama saja. Tidak ada lingkungan yang 100% bisa memuaskan kita. Untuk itu, yang terpenting adalah memfokuskan pikiran pada "bagaimana bisa melewati semua di tempat saat ini dengan nyaman." (Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, halaman 24)

Betul juga apa yang ditulis dokter Tsuneko itu. Mau bekerja di manapun pasti akan ada hal yang tidak menyenangkannya. Di sini, saya belajar untuk bersyukur. Di masa pandemi, pasti banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan lagi. Mereka bermimpi untuk bisa bekerja seperti saya. Menerima dan bersyukur atas apa yang kita dapatkan adalah kuncinya. Dengan begitu, semangat akan muncul dengan sendirinya.


Saat punya banyak pilihan, perhatian akan tertuju ke jalan lain, tapi ketika hanya ada satu pilihan, di luar dugaan ternyata kita bisa melakukannya. (Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, halaman 102)


Bersama Beradaptasi ala James Clear

Selama pandemi, kita semua harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Salah satunya kebiasaan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Yang saya rasakan, perbedaannya begitu besar. Misalnya, sebelum pandemi, saya menghabiskan hari untuk bekerja di kantor dari pukul 07.15 sampai 16.30. Ketika pandemi, semuanya berubah secara mendadak. Siapa yang tidak siap coba?

Perubahan jadwal kerja membuat semua kegiatan saya di luar kerja pun "agak berantakan". Nah, untungnya saya mendapatkan rekomendasi buku berjudul Atomic Habits yang ditulis oleh James Clear. Buku ini memberikan tips untuk membentuk kebiasaan baik dan menghilangkan kebiasaan buruk. Dengan 1% usaha yang kita lakukan setiap harinya untuk mengubah kebiasaan, kita akan mendapatkan hasil maksimal. 1% itu sedikit kan? Itulah sebabnya disebut atomic. 


Tak penting seberapa sukses atau seberapa gagal Anda saat ini. Yang penting adalah apakah kebiasaan-kebiasaan Anda menempatkan Anda pada jalur menuju kesuksesan atau tidak. Anda harus jauh lebih peduli pada arah tujuan Anda saat ini daripada hasil-hasil saat ini." (Atomic Habis, Halaman 21)

Saya berpikir, kalau kebiasaan saya selama #DiRumahAja hanya rebahan saja, nasib saya pasti begitu-begitu saja. Wajar kalau cepat atau lambat, saya akan merasa bosan. Untuk menghindari hal itu, saya melakukan kebiasaan-kebiasaan baru selama pandemi. Misalnya, meditasi, yoga, no screen time above 7 pm, membaca buku, dan memasak makanan sendiri (walaupun tidak jago-jago amat). Semua itu saya lakukan dengan menerapkan 4 kaidah atomic habits yaitu: menjadikannya terlihat, menjadikannya menarik, menjadikannya mudah, dan menjadikannya memuaskan. And it works! Sampai sekarang, saya masih melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut setiap hari, lho!


Bersama Beradaptasi ala Jessica Jung

Siapa sih yang tidak kenal Jessica Jung? Mantan anggota girlgroup Girls' Generation (SNSD) ini menyuntikkan semangat untuk saya. Saya suka novelnya yang berjudul Shine. Apalagi, terjemahannya bagus. Membaca untaian kata demi kata dalam novel itu membuat saya berpikir untuk kembali menulis naskah novel.

Saya sudah lama tidak menulis. Novel pertama saya terbit di tahun 2017. Tak terasa, itu sudah 4 tahun lalu! Sudah ada ide menulis. Rasanya berat sekali untuk menulis lagi. Tapi, ketika membaca novel Shine, saya berpikir, "Jessica Jung pasti sibuk sekali, tapi dia bisa menyempatkan diri untuk menulis novel."

Oke, saat itu juga saya meneruskan kembali draft novel yang sudah lama terbengkalai. Sampai sekarang, saya berusaha untuk menulis setiap hari. Di kalender, saya membubuhkan tanda 'X' di tanggal-tanggal saya menulis. Saya senang kalau tanda 'X' itu mulai membentuk rantai yang saling bersambungan. Sekarang, novel saya sudah 25.000 kata. Semoga tahun ini bisa dikirim ke penerbit. :)

Ini adalah satu-satunya langkah. Jika ini tidak berhasil, semua kerja kerasku selama ini, semua yang kuimpikan... akan berakhir. (Shine, halaman 133)


Bersama Beradaptasi ala Fumio Sasaki

Pikiran saya terasa penuh dengan berbagai informasi dan hal-hal yang perlu saya lakukan. Mumet, rasanya. Saya pun mendapatkan jawabannya dari buku berjudul Goodbye, Things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki. Ternyata, hidup yang tidak minimalis membuat kita tidak bahagia.

Minimalisme merupakan proses mengurangi barang kepemilikan supaya bisa memberikan ruang untuk barang-barang yang berguna saja. Kalau terlalu banyak barang, kita akan mumet sendiri. We don't posses things, yet things posses us. Lho, kenapa bisa mumet sendiri? Tentu saja! Kita harus menggunakan banyak waktu untuk membersihkan dan membereskan barang-barang. Semakin banyak barang yang kita punya, semakin sesak juga ruang gerak kita. 

Di sini, saya mulai melihat lingkungan saya. Kamar saya, tepatnya. Banyak sekali barang-barang yang saya miliki tapi tidak pernah saya pakai lagi. Terutama, baju. Biasa ya, wanita. Berpikir tak punya baju padahal bajunya menumpuk. Belum lagi buku-buku saya yang menggunung. Banyak di antaranya yang masih disegel atau tidak saya teruskan baca karena tidak sreg.

Konon katanya, minimalisme bukan hanya tentang barang saja, tetapi juga tentang pikiran. Mengurangi barang yang tidak kita perlukan lagi bisa diterapkan untuk pikiran. Mengurangi pikiran yang tidak penting bisa membuat kita lebih lega. Di masa pandemi, saya mencoba untuk menerapkan hidup minimalis. Saya mengurangi pikiran yang tidak penting seperti stalking media sosial orang lain atau selebgram atau mengkhawatirkan kapan pandemi ini berlalu. Semua itu hal-hal sampah. Tidak ada manfaatnya.

Saya pun mengurangi barang-barang kepemilikan. Saya memberikan baju-baju dan skincare yang tidak saya pakai lagi pada mama, adik, atau teman. Buku-buku pun saya jual pada followers saya di Instagram. Mereka senang, saya pun tenang.

Jika Anda mengalami apa yang saya rasakan saat itu–tidak puas dengan kehidupan Anda, merasa tidak aman, tidak bahagia–cobalah mengurangi barang-barang di sekitar dan Anda akan berubah. (Goodbye, Things, halaman 12)

Konsep gaya hidup minimalis membuat saya tetap waras semasa pandemi. Saya belajar memilah-milah hal yang tidak spark joy. Sayangnya, banyak orang yang menyalahartikan gaya hidup minimalis. Saya bahkan pernah melihat video youtuber judulnya 'Kamar Tidur Minimalis' tapi di kamarnya ada 4 cermin, banyak hiasan kecil yang gak jelas fungsinya apa, bahkan untuk makeover kamarnya saja bisa menghabiskan budget jutaan. Menurutmu, apa tu minimalis? Saya pikir tidak.


Bagi sebagian orang, pandemi malah membuat stress dan justru burnout. Seringkali pekerjaan datang tak tahu waktu. Meeting-meeting sampai malam. Hal itu tak pernah dilakukan sebelum pandemi. Malah, pandemi membawa burnout.

Di balik itu, pandemi memberikan jeda. Di masa adaptasi baru ini, kita sama-sama belajar untuk memilah mana yang penting dan tidak penting supaya kehidupan kita seimbang. Saya yang sebelum pandemi ini merasa mumet, sekarang justru merasa lega. Saya pun kembali semangat dalam menjalani kehidupan, baik itu kerjaan maupun passion pribadi. Kini saya memiliki perspektif baru.

Pandemi mengajarkan kita sesuatu. Ketimbang memikirkan hal negatif yang tak habis-habis, lebih baik melakukan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.





Kenapa 1000 Buku Sebelum Usia 5 Tahun, ya?

Kenapa 1000 Buku Sebelum Usia 5 Tahun, ya?


"Anak saya sudah siap masuk taman kanak-kanak belum, ya?"

Saya sering mendengar teman-teman saya yang sudah memiliki anak merasa khawatir dengan kesiapan anaknya masuk taman kanak-kanak. Usia anak yang ideal untuk masuk taman kanak-kanak biasanya sekitar usia 5 tahun. Pada umumnya, di usia inilah anak diajarkan membaca. Padahal, belajar membaca bisa dimulai sebelum itu. 

Kita bisa mengenalkan anak dengan buku sedini mungkin, yaitu sebelum anak menginjak usia taman kanak-kanak. Pasalnya, pada 1000 hari pertama kehidupannya, si kecil akan cepat sekali menyerap dan mengeksplorasi informasi yang ia dapat.

Bahkan, kini ada suatu program bernama Program 1000 Buku Sebelum Usia 5 Tahun. Program ini dianggap sebagai target orangtua untuk membacakan minimal 1000 buku untuk si kecil sebelum memasuki usia taman kanak-kanak. 

Awalnya, program ini diadakan oleh Bremen Public Library, sebuah perpustakaan di Indiana, Amerika Serikat. Tujuannya, untuk mengajak anak dan orangtua semakin mencintai buku. Berbagai riset menunjukkan hal positif mengenai kegiatan ini. Kini, program ini justru disarankan bagi para orangtua dan pendidik. 

Mengenalkan anak membaca sedini mungkin dapat mempersiapkannya untuk masuk ke taman kanak-kanak. Manfaatnya seperti berikut ini:

#1 Memperbanyak Kosakata

Orangtua membacakan buku pada anaknya dengan bahasa yang baik dan benar. Hal ini akan memperbanyak kosakatanya. 

Anak akan terbiasa mendengar kosakata baru. Apalagi, 1000 buku pasti mencakup kosakata yang beragam. Dengan begitu, otak anak akan berkembang karena si kecil dirangsang untuk memperkaya bahasa. Perbendaharaan kata yang beragam akan membuat anak lebih mudah berkomunikasi.


#2 Melatih Logical Thinking

Membaca dapat melatih si kecil untuk berpikir logis. Si kecil akan belajar banyak hal seperti, dasar-dasar benar dan salah, hubungan sebab-akibat, dsb. Ini akan membantu anak untuk mengambil keputusannya sendiri dan meningkatkan kemampuannya bernalar. Dengan begitu, si kecil akan mudah masuk ke dunia sosial di taman kanak-kanak nanti.


#3 Mengembangkan Daya Imajinasi dan Kreativitas

Daya imajinasi merupakan salah satu hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan kreativitas. Hal ini harus diperhatikan demi mengoptimalkan kecerdasan si kecil di usia pra-sekolah. Salah satu caranya adalah dengan membaca buku dongeng. 

Ketika dibacakan buku dongeng, si kecil akan dilatih untuk membayangkan para tokoh yang ada di cerita tersebut, tempatnya, sampai kelanjutan ceritanya. Anak yang memiliki imajinasi dan kreativitas akan selalu merasa penasaran. Rasa ingin tahunya tinggi. Oleh karena itu, jangan meremehkan imajinasi dan kreativitas ya.


#4 Merangsang Anak Berbicara

Dengan membacakan 1000 buku, anak jadi belajar mengenal susunan kalimat. Tentu saja, susunannya merupakan kalimat yang jelas. Bukan "baby talk". Saat Anda membacakan buku, si kecil akan merekam dan memahami arti setiap kata yang Anda ucapkan. Apalagi, bila terdapat gambar-gambar menarik pada buku ceritanya, si kecil akan semakin mudah untuk memahami setiap perkataan.

Jika si kecil sudah memahami perkataan Anda, pasti kalian bisa berinteraksi mengenai apa yang ada di buku. Minta si kecil mengulangi perkataan Anda. Inilah yang dapat merangsang anak berbicara.


#5 Melatih Motorik Halus

Kegiatan membuka halaman buku ternyata dapat melatih motorik halus. Motorik halus adalah gerakan pada otot-otot kecil. Fungsinya, menggerakkan anggota tubuh yang melibatkan tulang, otot, dan syaraf supaya bisa melakukan aktivitas tertentu. 

Nah, ketika masuk taman kanak-kanak, anak akan melakukan berbagai aktivitas seperti menggambar, menulis, dsb. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya melibatkan motorik halus. Maka, ada baiknya Anda melatih si kecil untuk mengembangkan motorik halusnya dengan membaca buku.


#6 Bonding Antara Anak dan Orangtua

Jika Anda sering membacakan buku untuk si kecil, ia akan senang karena bisa akrab dengan orangtuanya. Anda sebagai orangtua pun akan mengetahui apa yang diminati si kecil. Kegiatan ini bisa menumbuhkan kedekatan antara orangtua dan anak.

Selain itu, secara psikologis pun si kecil akan mudah membangun bonding dengan orang-orang di sekitarnya ketika masuk taman kanak-kanak.

* * *

Jadi, untuk menjawab pertanyaan apakah si kecil sudah siap masuk taman kanak-kanak atau belum, coba tanyakan diri Anda sendiri, "Apa saya sudah membacakan 1000 buku untuk si kecil?"

Tunggu! 1000 buku? Bukannya itu banyak sekali, ya?

Tentu saja akan terasa banyak sekali. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan secara bertahap. Misalnya, kita bisa membacakan 1 buku per hari selama 3 tahun. Coba, dihitung! Kira-kira, kita akan membacakan buku pada si kecil sekitar 1095 buku, lho! Jangan lupa juga baca berbagai artikel di Asian Parents, situs parenting terbaik di Indonesia ya!


Sumber Gambar:

https://www.mpl.on.ca/78-content/457-1000-books-before-kindergarten



8 Buku Parenting yang Wajib Dibaca Para Orangtua Muda

8 Buku Parenting yang Wajib Dibaca Para Orangtua Muda


Rekomendasi buku parenting ini membantu mempersiapkan diri menjadi orangtua.

Siapa sih yang tidak ingin menjadi orangtua terbaik bagi anaknya? Namun, tuntutan ini menjadi beban untuk banyak orangtua muda. Banyak orangtua muda yang merasa kesulitan karena tidak memiliki pendidikan untuk menjadi orangtua.

Di era Industri 4.0 ini, Anda sebagai orangtua muda bisa dengan mudah mendapatkan ilmu parenting dengan mudah. Banyak artikel-artikel parenting yang tersebar di internet. Sayangnya, seringkali info yang diberikan kurang lengkap atau kurang mendalam. Bahkan, ada pula yang sumbernya tidak jelas. Bisa-bisa menyesatkan, bukan?

Salah satu solusi dari perasalahan ini adalah dengan membaca buku. Tentu saja, penulisnya seorang profesional. Informasi yang Anda dapatkan akan dibahas lebih mendalam. Berikut ini beberapa buku parenting berkualitas yang wajib dibaca para orangtua muda.


 #1 Menjadi Orangtua Efektif - Thomas Gordon

Dalam buku Menjadi Orangtua Efektif, Anda tidak hanya mempelajari metode dan cara memperbaiki hubungan dengan anak, tetapi juga kapan, mengapa, dan untuk tujuan apa semuanya harus dilakukan. Teknik-tekniknya diuraikan secara rinci oleh Dr. Thomas Gordon. Ia adalah seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang dipandang sebagai seorang pemimpin gerakan perbaikan hubungan antarmanusia. Menariknya, buku ini dilengkapi dengan ilustrasi. Jadi, Anda tak akan bosan membalik halaman demi halamannya.


#2 Jangan Membuat Masalah Kecil dalam Mengasuh Anak Jadi Masalah Besar

Anda merasa kehidupan berjalan dengan cepat dan penuh tuntutan? Pasti Anda merasa jadwal kerja di rumah atau di kantor padat. Belum lagi harus mendampingi anak melakukan berbagai kegiatan. Pasti stres, kan?

Nah, Anda dapat menemukan solusinya di buku Jangan Membuat Masalah Kecil dalam Mengasuh Anak Jadi Masalah Besar. Buku ini menawarkan saran-saran agar kita bisa makin menikmati kebersamaan dengan anak tanpa stres dan selalu hadir dalam setiap momen kehidupan mereka.⠀


#3 Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Bersikap Baik - Sal Severe, Ph.D

Orangtua muda sering bingung dalam menghadapi anak. Kalau sudah bingung, pasti frustasi sendiri. Iya, kan?

Orangtua bertanggung jawab untuk membesarkan anak dengan tepat. Tujuannya, supaya anak bisa beradaptasi dengan baik di masyarakat sosial. Namun, karakter anak tidak bisa dipilih dan ditebak. Oleh karena itu, anak-anak perlu petunjuk serta didikan dari orangtuanya.⠀

Lewat kisah-kisah para orangtua dalam buku ini, psikolog Sal Severe, Ph.D. berharap bisa membantu sesama orangtua dalam mendidik anak.


#4 Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak - John Gottman, Ph.D dan Joan DeClaire

Intelligence Quotient (IQ) sering dianggap sebagai penentu utama kesuksesan seseorang. Namun, belakangan ini banyak pembicaraan bahwa intelegensia saja tidak cukup. Mengelola emosi dengan baik pun dibutuhkan. Di sinilah Emotional Quotient (EQ) berperan penting.

Apa itu EQ? Bagaimana cara mengembangkannya dalam anak? Anda dapat menemukan jawabannya di buku ini.

Buku ini bisa menjadi petunjuk untuk mengajarkan cara memahami dan mengatur dunia emosi pada anak-anak. Daniel Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan emosi.  Dengan mengambil cerita dari hasil penelitian dan juga pengalamannya sendiri sebagai seorang ayah, Gottman menyajikan petunjuk jelas bagi orangtua tentang cara mengembangkan kecerdasan yang berasal dari hati untuk anak.


#5 Seni Berbicara Pada Anak - Joanna Faber dan Julie King


Seringkali, anak-anak sulit diajak berkomunikasi. Orangtua pun akan bingung memahami perasaan anak. Nah, buku ini membantu Anda mengatasi hal tersebut supaya anak-anak mau menurut. 

Bagi orangtua yang belum memiliki pengalaman mendidik anak sebelumnya, buku ini akan sangat membantu untuk mengatasi masalah komunikasi dengan anak. Selain itu, buku ini pun cocok dibaca untuk para pendidik anak.

#6 Mommyclopedia: Tanya-jawab Tentang Nutrisi di 1000 Hari Pertama Kehidupan Anak - Dr. Meta Hanindita


1000 hari pertama kehidupan anak adalah masa paling penting. Di masa ini, kesehatan dan tumbuh kembang anak harus dimaksimalkan. Pasalnya, masa ini memiliki dampak besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Caranya, dengan memberi nutrisi yang tepat selama kehamilan dan menyusui.  

Akan tetapi, kebanyakan orangtua muda belum memahami pentingnya pemenuhan nutrisi ini. Seringkali juga terpengaruh akan mitos-mitos yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Nah, jangan khawatir. Di buku ini semua pertanyaan Anda tentang nutrisi di 1000 hari pertama anak akan dijawab oleh pakarnya, dr. Meta Hanindita, Sp.A. Jawabannya sangat jelas, mudah dipahami, enak dibaca, dan tidak membosankan.


#7 Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja - Vidya Dwina Paramita


Bagaimana perasaan Anda ketika ada orang yang bilang, "Anaknya sudah mau masuk SD, tapi belum bisa baca, ya?"

Sedih pastinya!

Alih-alih merasa menjadi korban mom shaming atau dad shaming, lebih baik introspeksi diri dulu. Apakah sudah mengajarkan membaca dengan benar?

Ternyata, mengajarkan anak membaca dengan teknik mengeja itu tidak efektif. Cobalah dengan Metode Montessori. Montessori merupakan suatu metode pendidikan untuk anak-anak, berdasar pada teori perkembangan anak. Metode ini diperkenalkan oleh Maria Montessori, seorang pendidik dari Italia di akhir abad 19 dan awal abad 20.

Dalam buku ini, penulis menjelaskan bahwa cara terbaik untuk mengajarkan membaca adalah dengan mengorelasikan kata dengan objek. Alih-alih mengeja dengan menyambungkan huruf-huruf, lebih baik mengorelasikan rangkaian huruf yang dibaca atau dibunyikan dengan makna yang telah ia kenal dan ia pahami.

Buku ini sangat penting dipahami oleh orangtua muda supaya anak-anak menjadi gemar membaca.


#8 Happy Little Soul - Retno Hening 


Buku yang satu ini berbeda dari buku-buku yang disebut sebelumnya. Happy Little Soul justru disajikan dengan gaya tulisan sharing ketimbang how-toBuku ini merupakan catatan pengalaman seorang ibu muda yang populer di Instagram dalam membesarkan anaknya.

Jika Anda membaca buku ini, pasti akan merasa dekat dengan penulis. Pengalaman-pengalamannya sebagian besar dialami juga oleh orangtua muda. Dari pengalaman itu, Anda sebagai pembaca buku ini bisa menyimpulkan bagaimana metode penulis dalam mendidik anaknya supaya bahagia.

* * *

Itu dia beberapa buku yang wajib dibaca para orangtua muda. Buku-buku tersebut mewakili beberapa aspek yang perlu dipahami orangtua muda. Menjadi orangtua yang hebat memang butuh proses. Seringkali, Anda justru dipaksa untuk terus belajar. Membaca buku-buku yang relevan seperti yang disebut di atas adalah salah satunya. Jangan lupa juga baca berbagai artikel di Asian Parents, situs parenting terbaik di Indonesia ya!


Sumber Gambar:
Independent.co.id - https://bit.ly/2J8RqiX


Inside Bill's Brain

Inside Bill's Brain

Siapa sih yang gak tahu Bill Gates?

Pendiri Microsoft.

Salah satu orang terkaya di dunia.

Pemilik organisasi Bill And Melinda Gates.

Itu baru sebagian kecil informasi tentang Bill Gates. Jujur, saya tidak begitu kenal sosok Bill Gates sebelumnya. Tapi, setelah menonton film dokumenternya di Netflix yang berjudul Inside Bill's Brain, saya jadi kagum sekali sama sosok pendiri Microsoft itu.



Alasan utama, Bill Gates suka membaca buku! Beliau bukan membaca satu atau dua buku saja, melainkan belasan buku dalam satu waktu. Saat ke kantor pun, beliau membawa kantong yang penuh dengan buku-buku. Berbeda sekali dengan saya, ya. Ke kantor bawa satu atau dua buku saja enggak terbaca. Hehe...

Waktu menonton dokumenter ini, saya sedang ada pada titik reading slump alias malas baca buku. Melihat Bill Gates yang membaca setiap hari, saya jadi termotivasi untuk membaca lebih banyak buku tahun ini. Seperti Bill Gates. Ya, siapa tahu bisa jadi miliarder kaya lebih dari tujuh turunan kayak Bill Gates. Hehe...

Selain itu, saya kagum dengan kebaikan hatinya. Bill Gates pastinya mendapatkan profit dari Microsoft. Namun, beliau tidak lupa dengan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Misalnya, beliau concern sekali dengan sistem sanitasi yang buruk di beberapa negara. Hal-hal semacam WC saja, beliau pikirkan.

Hal ini membuat saya termotivasi juga untuk melakukan hal baik. Kalau mau membuat bisnis, harus memikirkan juga apa manfaat bisnis kita untuk orang banyak. Seperti kata Rasulullah, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain."

Sayangnya, beliau workaholic... Ya, gak apa-apa. Kalau perusahaan sendiri, saya pun bakalan workaholic. :D

Am I A Work Martyr?

Am I A Work Martyr?


Do you know what work martyr is?

The first time I heard about the term 'work martyr' is from one of my editor and mentor from publisher (Penerbit Haru), Lia Indra. She posts an idea in her Instagram account about it. The caption really hits me because that term connects to my daily life as a worker.

Work martyr is another term for workaholic. It's a new term for me and I'm excited to understand more about it. (Blame my curiosity! :D) Actually, work martyr is more than workaholic. If you enjoy working, it's okay to be a workaholic. But, when it makes you stressed out or ill, that's work martyr.

I dunno if being a work martyr is bad or not. Perhaps, it depends on the person. But I don't want to be a work martyr. If it is for my own company, I will be  a work martyr. If it's not, I don't want to.

Here are a few signs to watch out for:

1. You reply to emails as you see them, no matter the time of day or urgency.

2. If you receive feedback that is less than glowing, it severely alters your mood for the rest of the day.

3. You eat lunch at your desk every day.

4. You go into work even when you're sick.

5. You think you're the glue that holds everything together for your team.

6. You complain to anyone who will listen about your long hours and crushing workload.

7. You silently judge others when they leave work early or take off for family reasons.

8. You can't remember the last time you spent an entire weekend or holiday away from your computer or phone. And when you have holidays or day off, you will feel guilty.

9. You have to do everything yourself because you don't trust others on your team to do the job up to your standards.

10. At social events you don't have much else to talk about besides work, because it's your number one interest.

I've got some signs. It makes me want to break free because it is too overwhelmed. But it's hard.

I really want to enjoy my time outside of working hours. You know, doing my hobbies or spending time with beloved ones without thinking about work. That's why I always turn off the WhatsApp notifications after work and during weekends. It is so peaceful...

Do you also think that you become a work martyr? How do you manage your mind and soul in order to not being a work martyr?
Copyright © 2014 The Bibliotherapy , Blogger