Ketika Corona Memberi Angin Segar

Bosan karena harus berdiam diri di rumah saja?

Kewalahan dengan sistem Work From Home atau School From Home?

Jujur, saya tidak pernah merasa seperti itu.

Senang? Tidak juga. Karena, merasa senang bakalan di-bully habis-habisan, dituduh tidak memiliki empati. Padahal, tak ada yang tahu apa yang sedang dijalani orang lain, kan?

Pandemi menyelamatkan saya dari tekanan pekerjaan. Karena itu, saya lega ketika tempat saya kerja menerapkan sistem Work From Home (WFH) selama pandemi. Saya juga tak masalah harus berdiam diri di rumah saja.

Pekerjaan saya menuntut untuk melakukan segala-galanya dengan cepat. Maklum, masyarakat zaman sekarang identik dengan fast-paced life. Satu pekerjaan belum selesai, sudah datang pekerjaan lain yang sama-sama menuntut untuk diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini membuat saya mau tak mau harus multitasking. Awalnya, saya menjalani hal ini. Tapi, semakin sering saya melakukan multitasking, semakin saya sadar bahwa saya tidak bisa multitasking. Pasti ada kesalahan kecil yang saya buat jika melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Akhirnya, saya sering mengalami burnout.

Pernah saya baca suatu artikel yang menjelaskan penelitian bahwa multitasking bisa merusak otak dan karier. Saya tidak mengada-ngada. Tapi, saya merasakan otak saya mulai kewalahan, seperti sering lupa, kurang fokus, cemas, melakukan sesuatu dengan mode otomatis. Bahkan parahnya, saya tidak lagi menikmati momen saat bersama pasangan, keluarga, dan teman saya. 

Mungkin, banyak dari kalian yang berpendapat, "Kalau sudah jenuh dengan pekerjaan, coba deh cuti!" Iya, mengambil cuti bisa jadi pilihan tepat. Tapi, tidak semudah itu. Kalau saya cuti, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan saya yang setiap harinya selalu ada pekerjaan baru yang menuntut untuk dikerjakan? Saya selalu khawatir jadi merepotkan orang lain kalau saya mengambil cuti. Maka, saya tidak tega ambil cuti. Kerja, kerja, kerja! Tidak kerja, tidak makan! Hehe...

Lalu, datanglah Corona. Saya mendapatkan angin segar yang membuatku bisa bernapas sejenak. Bukan berhenti sepenuhnya. Saya tetap bekerja. Tapi, bekerja di rumah membuat saya justru lebih fokus. Pekerjaan saya bisa selesai lebih cepat tanpa ada interupsi sana-sini.Waktu yang biasanya digunakan untuk perjalanan dan bersiap-siap pergi bekerja dimanfaatkan untuk membenahi mental dan jiwa saya. Dengan cara apa? Tentu saja dengan buku!

Masa adaptasi berarti diri kita harus beradaptasi dengan keadaan, secara mental maupun fisik. Tentu saja saya membutuhkan bantuan dari orang lain untuk bisa menata hidup saya. Ya, dengan bantuan para penulis hebat. Ini dia beberapa penulis yang karyanya membuat saya tetap waras.


Bersama Beradaptasi ala Tsuneko Nakamura

2020 adalah tahun dimana saya mengenal filsafat Stoa. Lewat bukunya yang berjudul Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, Tsuneko Nakamura berbagi pengalamannya selama berkarier sebagai psikiater lebih dari 70 tahun. 

Sebetulnya, tidak ada menyebut-nyebut filsafat Stoa. Tapi, pemikiran dokter Tsuneko benar-benar stoikisme sekali. Tak heran, dokter Tsuneko dikenal sebagai pribadi yang tenang. 

Salah satu pemikiran dokter Tsuneko yang bersinggungan dengan filsafat Yunani-Romawi Kuno adalah tentang prinsip dikotomi kendali, yaitu ada hal yang bisa kita ubah dan hal yang tidak bisa kita ubah. Membaca buku ini membuat saya mulai memilah keduanya. Saya mulai sadar bahwa memaksakan kehendak atas sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan justru akan membuat kita merasa sakit. Saya jadi teringat sebuah analogi yang dijelaskan dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring berikut ini:


Bayangkan seekor anjing yang terikat lehernya ke sebuah gerobak. Saat gerobak bergerak, anjing ini punya pilihan. Pertama, dia bisa ngotot pergi berlawanan arah dengan si gerobak, yang hasilnya adalah lelah, karena dia tidak mungkin bisa menang melawan gerobak itu, dan lehernya akan tercekik sampai tersengal-sengal. Pilihan kedua, dia bisa memilih untuk berjalan mengikuti arah dan kecepatan si gerobak tanpa harus tercekik. Bahkan, dia masih bisa menikmati pemandangan--dan bergenit ria dengan anjing lain di jalan. Ketika anjing ini melawan hal-hal di luar kendalinya, dalam hal ini gerobak yang berjalan, dia hanya menemui penderitaan. Namun, ketika dia memfokuskan pada hal yang bisa dikendalikan, yaitu mengikuti gerobak, menikmati pemandangan, sambil mengedipkan mata pada anjing-anjing lain, maka dia tetap bisa merasa bahagia." (Filosofi Teras, halaman 50)

Analogi tersebut ada benarnya. Memang, rasanya tak ada hal baik dari pandemi ini. Tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat... Semuanya terkena dampak pandemi yang kebanyakan negatif. Ini memang menyesakkan seperti coronavirus yang membuat sesak. Tapi, apa yang bisa kita perbuat? Kita tidak bisa mengendalikan penyebaran virus Corona yang begitu massive. Yang bisa kita kendalikan adalah menjaga diri dengan menerapkan protokol kesehatan dan minum vitamin. Daripada waktu habis untuk mengkhawatirkan hal yang tidak bisa kita kendalikan, lebih baik membaca buku supaya tetap waras, kan?

Buku yang ditulis oleh Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda ini ternyata berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya, tujuan bekerja untuk apa, menghadapi orang lain di tempat kerja seperti apa, dsb. Saya seperti mendapat nasihat dari dokter Tsuneko tentang kegalauan saya dengan pekerjaan saya.


Pada akhirnya, ke mana pun kita pergi akan sama saja. Tidak ada lingkungan yang 100% bisa memuaskan kita. Untuk itu, yang terpenting adalah memfokuskan pikiran pada "bagaimana bisa melewati semua di tempat saat ini dengan nyaman." (Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, halaman 24)

Betul juga apa yang ditulis dokter Tsuneko itu. Mau bekerja di manapun pasti akan ada hal yang tidak menyenangkannya. Di sini, saya belajar untuk bersyukur. Di masa pandemi, pasti banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan lagi. Mereka bermimpi untuk bisa bekerja seperti saya. Menerima dan bersyukur atas apa yang kita dapatkan adalah kuncinya. Dengan begitu, semangat akan muncul dengan sendirinya.


Saat punya banyak pilihan, perhatian akan tertuju ke jalan lain, tapi ketika hanya ada satu pilihan, di luar dugaan ternyata kita bisa melakukannya. (Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, halaman 102)


Bersama Beradaptasi ala James Clear

Selama pandemi, kita semua harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Salah satunya kebiasaan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Yang saya rasakan, perbedaannya begitu besar. Misalnya, sebelum pandemi, saya menghabiskan hari untuk bekerja di kantor dari pukul 07.15 sampai 16.30. Ketika pandemi, semuanya berubah secara mendadak. Siapa yang tidak siap coba?

Perubahan jadwal kerja membuat semua kegiatan saya di luar kerja pun "agak berantakan". Nah, untungnya saya mendapatkan rekomendasi buku berjudul Atomic Habits yang ditulis oleh James Clear. Buku ini memberikan tips untuk membentuk kebiasaan baik dan menghilangkan kebiasaan buruk. Dengan 1% usaha yang kita lakukan setiap harinya untuk mengubah kebiasaan, kita akan mendapatkan hasil maksimal. 1% itu sedikit kan? Itulah sebabnya disebut atomic. 


Tak penting seberapa sukses atau seberapa gagal Anda saat ini. Yang penting adalah apakah kebiasaan-kebiasaan Anda menempatkan Anda pada jalur menuju kesuksesan atau tidak. Anda harus jauh lebih peduli pada arah tujuan Anda saat ini daripada hasil-hasil saat ini." (Atomic Habis, Halaman 21)

Saya berpikir, kalau kebiasaan saya selama #DiRumahAja hanya rebahan saja, nasib saya pasti begitu-begitu saja. Wajar kalau cepat atau lambat, saya akan merasa bosan. Untuk menghindari hal itu, saya melakukan kebiasaan-kebiasaan baru selama pandemi. Misalnya, meditasi, yoga, no screen time above 7 pm, membaca buku, dan memasak makanan sendiri (walaupun tidak jago-jago amat). Semua itu saya lakukan dengan menerapkan 4 kaidah atomic habits yaitu: menjadikannya terlihat, menjadikannya menarik, menjadikannya mudah, dan menjadikannya memuaskan. And it works! Sampai sekarang, saya masih melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut setiap hari, lho!


Bersama Beradaptasi ala Jessica Jung

Siapa sih yang tidak kenal Jessica Jung? Mantan anggota girlgroup Girls' Generation (SNSD) ini menyuntikkan semangat untuk saya. Saya suka novelnya yang berjudul Shine. Apalagi, terjemahannya bagus. Membaca untaian kata demi kata dalam novel itu membuat saya berpikir untuk kembali menulis naskah novel.

Saya sudah lama tidak menulis. Novel pertama saya terbit di tahun 2017. Tak terasa, itu sudah 4 tahun lalu! Sudah ada ide menulis. Rasanya berat sekali untuk menulis lagi. Tapi, ketika membaca novel Shine, saya berpikir, "Jessica Jung pasti sibuk sekali, tapi dia bisa menyempatkan diri untuk menulis novel."

Oke, saat itu juga saya meneruskan kembali draft novel yang sudah lama terbengkalai. Sampai sekarang, saya berusaha untuk menulis setiap hari. Di kalender, saya membubuhkan tanda 'X' di tanggal-tanggal saya menulis. Saya senang kalau tanda 'X' itu mulai membentuk rantai yang saling bersambungan. Sekarang, novel saya sudah 25.000 kata. Semoga tahun ini bisa dikirim ke penerbit. :)

Ini adalah satu-satunya langkah. Jika ini tidak berhasil, semua kerja kerasku selama ini, semua yang kuimpikan... akan berakhir. (Shine, halaman 133)


Bersama Beradaptasi ala Fumio Sasaki

Pikiran saya terasa penuh dengan berbagai informasi dan hal-hal yang perlu saya lakukan. Mumet, rasanya. Saya pun mendapatkan jawabannya dari buku berjudul Goodbye, Things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki. Ternyata, hidup yang tidak minimalis membuat kita tidak bahagia.

Minimalisme merupakan proses mengurangi barang kepemilikan supaya bisa memberikan ruang untuk barang-barang yang berguna saja. Kalau terlalu banyak barang, kita akan mumet sendiri. We don't posses things, yet things posses us. Lho, kenapa bisa mumet sendiri? Tentu saja! Kita harus menggunakan banyak waktu untuk membersihkan dan membereskan barang-barang. Semakin banyak barang yang kita punya, semakin sesak juga ruang gerak kita. 

Di sini, saya mulai melihat lingkungan saya. Kamar saya, tepatnya. Banyak sekali barang-barang yang saya miliki tapi tidak pernah saya pakai lagi. Terutama, baju. Biasa ya, wanita. Berpikir tak punya baju padahal bajunya menumpuk. Belum lagi buku-buku saya yang menggunung. Banyak di antaranya yang masih disegel atau tidak saya teruskan baca karena tidak sreg.

Konon katanya, minimalisme bukan hanya tentang barang saja, tetapi juga tentang pikiran. Mengurangi barang yang tidak kita perlukan lagi bisa diterapkan untuk pikiran. Mengurangi pikiran yang tidak penting bisa membuat kita lebih lega. Di masa pandemi, saya mencoba untuk menerapkan hidup minimalis. Saya mengurangi pikiran yang tidak penting seperti stalking media sosial orang lain atau selebgram atau mengkhawatirkan kapan pandemi ini berlalu. Semua itu hal-hal sampah. Tidak ada manfaatnya.

Saya pun mengurangi barang-barang kepemilikan. Saya memberikan baju-baju dan skincare yang tidak saya pakai lagi pada mama, adik, atau teman. Buku-buku pun saya jual pada followers saya di Instagram. Mereka senang, saya pun tenang.

Jika Anda mengalami apa yang saya rasakan saat itu–tidak puas dengan kehidupan Anda, merasa tidak aman, tidak bahagia–cobalah mengurangi barang-barang di sekitar dan Anda akan berubah. (Goodbye, Things, halaman 12)

Konsep gaya hidup minimalis membuat saya tetap waras semasa pandemi. Saya belajar memilah-milah hal yang tidak spark joy. Sayangnya, banyak orang yang menyalahartikan gaya hidup minimalis. Saya bahkan pernah melihat video youtuber judulnya 'Kamar Tidur Minimalis' tapi di kamarnya ada 4 cermin, banyak hiasan kecil yang gak jelas fungsinya apa, bahkan untuk makeover kamarnya saja bisa menghabiskan budget jutaan. Menurutmu, apa tu minimalis? Saya pikir tidak.


Bagi sebagian orang, pandemi malah membuat stress dan justru burnout. Seringkali pekerjaan datang tak tahu waktu. Meeting-meeting sampai malam. Hal itu tak pernah dilakukan sebelum pandemi. Malah, pandemi membawa burnout.

Di balik itu, pandemi memberikan jeda. Di masa adaptasi baru ini, kita sama-sama belajar untuk memilah mana yang penting dan tidak penting supaya kehidupan kita seimbang. Saya yang sebelum pandemi ini merasa mumet, sekarang justru merasa lega. Saya pun kembali semangat dalam menjalani kehidupan, baik itu kerjaan maupun passion pribadi. Kini saya memiliki perspektif baru.

Pandemi mengajarkan kita sesuatu. Ketimbang memikirkan hal negatif yang tak habis-habis, lebih baik melakukan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.





No comments:

Post a Comment

Copyright © 2014 The Bibliotherapy , Blogger