Mau Resign? Siapkan Hal Ini Dulu
Banyak film yang meromantisasi resign, yaitu ketika tokoh utama memutuskan untuk berhenti bekerja, lalu berjalan keluar dari gedung tempatnya bekerja. Seketika itu juga, ia menghirup kebebasan. Hidupnya pun lantas menjadi lebih indah. Happy ending.
Oh, indahnya hidup...
Namun, kenyataan justru berbanding terbalik. Memang, satu
atau dua hari setelah resign, rasanya
bahagia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semua berubah. Setidaknya jika
tidak ada penghasilan, satu bulan setelah resign
bisa dipastikan cicilan dan
tagihan mulai mengantri. Belum lagi kebutuhan harian harus dipenuhi. Bagi kaum
hawa yang single, kebutuhan untuk
merawat diri pun adalah hal wajib. Ditambah lagi, pemenuhan hasrat untuk hobi dan
gaya hidup meningkat. Contohnya, jika ada film seru yang sedang diputar di
bioskop. Tidak boleh deh sampai terlewat biar ada obrolan sama teman-teman.
Ngobrolnya pun akan lebih keren kalau di cafe atau di warung kopi. Tapi, bagaimana
itu bisa terjadi kalau uang yang kita punya setelah resign pas-pasan—hanya mengandalkan uang hasil pesangon resign? Akhirnya, penyesalan pun akan
datang.
Resign adalah hal yang perlu dirancang dan direncanakan
dengan baik. Jika keputusan resign dilakukan
tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang, kejadian yang tadi saya ceritakan
lah yang akan terjadi. Apalagi jika belum mendapat kerjaan pengganti. Ujung-ujungnya malah sengsara. Berbanding terbalik
dengan doktrin dari film-film yang kita tonton.
Keputusan resign ini
sebetulnya sudah ada pada mindset saya
sejak di bangku SMA. Hobi saya membaca. Maka, passion saya pun ada di bidang literature.
Saya berencana untuk menjadi penulis novel, editor, dan translator—sambil berbisnis
dan mengelola toko pakaian. Pekerjaan saya yang sekarang jauh dari bidang saya.
Saya pun berpikir, jika saya terus berada di tempat itu, saya akan terjebak
dalam rat race—bangun tidur,
berangkat kerja, mendapat gaji, bayar cicilan, belanja ini itu, tunggu gajian
berikutnya. Begitu saja selama satu tahun, dua tahun, dan sampai sekarang masih
begini-begini saja. Hal ini mirip seperti apa yang dijelaskan Robert T Kiyosaki
mengenai konsep Cashflow Quadran.
Konsep ini membagi masyarakat menjadi empat kelompok. Empat
kuadran. Begitulah istilah dalam buku Roberti T Kiyosaki. Berbeda kuadran,
berbeda pula cara mereka mendapatkan uang. Kuadran pertama adalah pegawai (employee). Seperti saya sekarang.
Bekerja pada orang lain atau perusahaan. Kuadran Kedua adalah para self
employee. Mereka bekerja untuk dirinya sendiri dengan membuka usaha atau
memiliki perusahaan sendiri. Kuadran ketiga adalah pemilik perusahaan. Mereka
memiliki perusahaan, namun yang menjalankannya adalah orang lain yang ia
rekrut. Kuadran keempat adalah investor—pemegang saham. Mereka tidak bekerja
untuk uang, namun uanglah yang bekerja untuk mereka. Bisa dikatakan, inilah
sumber passive income.
Dari keempat kuadran tersebut, saya mempertimbangkan akan
ada di kuadran mana saya. Kuadran kedua, tidak mungkin. Karena saya tidak punya
bakat berjualan barang. Kuadran tiga, apalagi. Saya bukan anak pejabat atau pengusaha.
Berpikir memiliki perusahaan sendiri sepertinya masih jauh dan agak sulit
diraih karena tidak ada modal besar. Kuadran empat, bisa saja. Tapi, saya tidak
punya ilmunya. Ketika saya SMA dulu, belum ada seminar atau Youtube channel
yang membahas finansial. Belum lagi ada mindset bahwa menjadi investor itu
harus punya uang banyak untuk menanamkan saham. Jadi, satu-satunya pilihan saya
adalah menjadi penghuni kuadran satu alias karyawan.
Dalam buku Make A Plan And Get Your Financial Dreams Come
True karya Melvin Mumpuni—founder Finansialku—dijelaskan bahwa “mimpi yang tidak ditulis/diucapkan,
hanyalah sebuah khayalan.” Kata-kata itu membuat saya tertegun. Karena itu,
saya bertekad untuk mempraktikkan apa yang disarankan dalam buku tersebut.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah mulai merapikan cash flow. Saya harus mencatat pemasukan
dan pengeluaran setiap harinya guna melihat kemana saja uang saya pergi. Biasanya,
saya memakai catatan tertulis di sebuah buku notes. Namun, ini kurang efektif
karena buku catatan saya sering tertinggal di rumah, atau lupa mencatat pengeluaran.
Solusinya adalah dengan menggunakan aplikasi Finansialku. Aplikasi ini praktis
dan dapat diunduh di Play Store (untuk Android) dan www.aplikasi.finansialku.com
(untuk iOS, karena aplikasi untuk iOS masih on development). Untuk bulan
pertama, kita bisa menggunakannya secara gratis. Selanjutnya, dikenakan biaya. Hanya
dengan 35.000/bulan atau 350.000/tahun, kalian bisa mencatat keuangan, investasi,
dan bisa bebas konsultasi dengan para perencana keuangan Finansialku.
Saya pun menjadi lebih hemat dan bisa menabung lebih banyak. Jika ingin membeli sesuatu, saya akan selalu berpikir apakah ini kebutuhan atau keinginan. Saya mulai mengurangi jajan di luar, lebih memilih bekal atau memasak sendiri di rumah. Kalau ingin apa-apa, pinginnya bayar cash. Pantang pakai kartu kredit. Lebih kece bayar cash kan ketimbang ngutang pakai kartu kredit. Mungkin, ini efek psikologis dari mencatat keuangan.
Langkah kedua, melunasi hutang konsumtif. Hutang konsumtif memang terkadang membuat napas agak
sesak. Cicilan mobil, kartu kredit, dsb. Apalagi jika kita mengeluarkan uang untuk
membayar hutang yang jumlahnya 50% dari pendapatan kita. Ya, memang hutang
konsumtif sifatnya menggerus pendapatan kita. Beda dengan hutang produktif yang
bisa memberikan penghasilan. Setelah membaca banyak artikel di finansialku.com,
saya pun membatasi hutang/cicilan maksimal 30% dari pendapatan. Tidak boleh
dari itu. Dan saya berencana untuk segera melunasi hutang konsumtif secepat
mungkin. Tentunya, dengan menggunakan aplikasi Finansialku dong.
Langkah ketiga, menyiapkan dana darurat. Di Finansialku, ada
sebuah framework bernama piramida perencanaan keuangan.
Piramida ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu keamanan
keuangan, kenyamanan keuangan, dan distribusi kekayaan. Inilah salah satu hal
yang harus dipersiapkan sebelum memutuskan untuk resign.
Keamanan keuangan berarti kita dapat memenuhi keuangan
jangka pendek (1-12 bulan). Dalam piramida, disimbolkan dengan dompet dan
payung. Dompet berarti kita sudah memiliki dana cadangan/talangan yang jumlah
idealnya 6-12 bulan pengeluaran kita (tergantung status pernikahan). Payung
berarti kita memiliki asuransi kesehatan. Inilah yang harus kita persiapkan
ketika berencana untuk resign.
Langkah selanjutnya adalah investasi. Warren Buffet adalah role model untuk saya. Saya tidak
berbakat berbisnis/berjualan. Untungnya saya punya pasangan yang pintar
berbisnis dan berjualan. Jadi, saya fokus untuk berinvestasi di reksadana. Saya
sudah memiliki reksadana. Tentunya, kalian pun bisa dengan mudah memiliki
Reksadana hanya dengan mengunduh aplikasi Finansialku.
Saat ini saya memang masih bekerja di perusahaan yang sama
dan belum resign. Setelah mendapat
pencerahan dari Finansialku, saya pun menjadi tidak tergesa-gesa untuk resign. Namun, saya tetap berniat untuk resign. Resign yang terencana. Selama
sepuluh tahun ke depan, saya akan fokus membangun karir, memenuhi dana darurat,
melunasi cicilan, dan berinvestasi, dengan tidak melupakan passion saya di
dunia kepenulisan dan mimpi saya dalam meraih kebebasan finansial. Memang
jalannya masih panjang, namun pengalaman yang akan saya dapat akan membawa saya
pada kebebasan—seperti yang didapatkan tokoh-tokoh dalam film yang
meromantisasi resign. Sepuluh tahun
lagi, saya akan pensiun dini dan berjalan ke luar gedung perkantoran sambil
berteriak, “Saya bebas!”
No comments:
Post a Comment