Why I Write
Ada satu hal yang miris di masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam, yaitu anggapan bahwa orang yang depresi itu jauh dari Allah. Dampaknya, mereka dijauhi oleh orang-orang sekitar, dipandang melenceng dari jalan yang lurus. Mungkin, mereka memang jauh dari Allah. Namun reaksi oleh orang-orang di sekitar kebanyakan salah.
Orang depresi disuruh untuk membaca
Al-Quran. Padahal, untuk beraktivitas saja orang depresi tidak ada semangat.
Orang depresi dinasehati mengenai
agama. Padahal, bukan itu yang ingin mereka dengar saat itu. Nasehat tentang
agama pasti tak akan masuk ke dalam logikanya, seperti ungkapan masuk telinga
kanan, keluar telinga kiri.
Hal tersebut seperti halnya menyuruh orang
yang patah kaki untuk membaca Al-Quran supaya bisa sembuh. Saya yakin, Al-Quran
adalah penyembuh seperti yang disebut dalam surat Al-Israa ayat 82, Allah
berfirman:
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman...”
Namun, makna dari ayat tersebut bukan
lantas kita tidak berikhtiar. Apakah kaki patahnya lantas bisa kembali seperti
sempurna begitu membaca Al-Quran? Tidak. Justru akan lebih baik kalau pergi ke
dokter sebagai bentuk dari ikhtiarnya mencari pertolongan Allah, karena
pertolongan Allah selalu datang lewat perantara.
Saya tahu betul apa yang dirasakan
orang-orang depresi. Karena itu, saya ingin
menjadi perantara pertolongan Allah untuk orang-orang yang depresi lewat karya
berupa tulisan. Saya menulis bukan untuk membuat
orang lain terkesan dan mendapatkan banyak followers di media sosial. Saya
menulis untuk menikmati proses yang saya lakukan dalam membuat suatu karya yang
maknanya mendalam. Dan memang tema tulisan saya adalah seputar masalah kesehatan
mental dan jiwa.
Diri kita sendiri sering
menyembunyikan keresahan. Terkadang, kita sendiri menahan diri untuk
menunjukkan apa yang kita rasakan. Akhirnya, kita memilih untuk memendam rasa
kecewa, kepanikan, kekhawatiran, kesedihan, dsb. Sama halnya ketika kita berbicara mengenai
kesehatan mental. Stigma masyarakat menahan kita untuk membahasnya dengan
terbuka seolah kesehatan jiwa adalah satu hal yang jauh dari kehidupan kita.
Data WHO menunjukkan bahwa 300 juta orang di dunia terkena dampak depresi. Dan
perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Data inilah yang tidak boleh
dipandang sebelah mata atau disepelekan. Saya pun bertekad untuk melakukan
sesuatu lewat apa yang saya bisa lakukan, yaitu menulis.
Saya berencana membuat novel yang
bisa menolong orang-orang yang hatinya bergejolak, orang-orang yang memandang
negatif kehidupan, orang-orang yang berpikir masa depan mereka suram, dan orang-orang
yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Memang, tulisan saya dalam bentuk
fiksi. Namun bukankah dalam fiksi selalu ada kebenaran?
Jika saya sudah tidak bisa berkarya
lagi a.k.a meninggal dunia, karya saya bisa menolong orang-orang seperti itu
supaya tetap kuat menjalani hidup dan mensyukuri apa yang telah Allah berikan
(baik atau buruk). Lewat novel, saya bisa berbicara dan menasehati orang-orang
yang putus harapan dengan bahasa mereka. Orang-orang yang membaca karya saya
merasa tidak sendirian di dunia ini—bahwa di setiap masalah selalu ada
solusinya dan Allah tidak akan memberikan suatu keadaan jika makhlukNya tidak
bisa mengatasinya.
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas
kemampuannya.” (Al-Baqarah: 287)
Dengan memiliki misi seperti itu, secara
tidak langsung membuat saya lebih kuat dalam menjalani hidup. The feeling when you save someone’s life can’t
be described. Saya
mencoba menjadi penulis yang bisa menjadi panutan. Tidak mungkin saya menulis
tentang kesehatan jiwa dengan pesan harapan dalam novel-novel saya, namun saya
sendiri tidak sehat jiwanya. Apa kata dunia? I always remember to hold myself responsible for the content that I am
creating.
Jadi, karya apa yang akan kalian buat? Sehingga bila nanti kamu meninggal dunia, karya itu tetap bermanfaat bagi orang banyak...
No comments:
Post a Comment